Senin, 28 Juli 2014

Sangan (Dongeng) Dalam Budaya Dayak Krio

Bed time story. Adalah kebiasaan orang Eropa yang membacakan cerita kepada anak-anak menjelang tidur. Tidak berbeda dengan kebiasaan orang Eropa, masyarakat sepanjang sungai Krio khususnya Dusun Sepanggang juga memiliki kebiasaan seperti itu, mendongeng kepada anak-anak. Karena pada zaman dahulu, masyarakat tinggal di satu buah rumah yang dihuni oleh beberapa kepala keluarga yang disebut dengan Rumah Betang. Menjelang malam, anak-anak akan menantikan saat-saat Besangan (mendongeng) yang biasanya dituturkan oleh salah satu orang yang dituakan dalam rumah tersebut. Duduk diam dan rapi dan menghadap ke satu arah, yaitu Penyangan atau penutur sangan.
Sangan yang paling populer atau yang sering dituturkan adalah sangan mengenai dua kakak beradik yang biasa disebut Migu dan Cakam. Sangan ini bercerita tentang dua bersaudara yang masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Migu diceritakan sebagai seseorang yang bertubuh besar, kuat namun dungu, sedangkan Cakam berbadan kurus, ceking namun cerdas. Sangan mengenai Migu dan Cakam ini seperti serial, selalu memiliki episode. Tidak pernah habis dan selalu berkelanjutan. Terlebih lagi sangan ini banyak hal lucu yang diceritakan sehingga anak-anak selalu menantikannya. 
Pak Markus atau lebih dikenal dengan Pak Bolek, adalah orang yang sering menjadi Penyangan di Dusun Sepanggang saat ini, karena beliau pandai menceritakan sangan memberikan bumbu dalam setiap sangan. Tentu saja sangan tidak hanya sebatas hiburan semata, banyak hal atau pengajaran yang diberikan dalam setiap sangan, seperti arti pertemanan, hubungan dengan alam sekitar serta masih banyak pengajaran yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Sangan dapat menjadi media bagi orang tua agar lebih dekat dengan anak-anak dan sambil memberikan hiburan, orang tua juga dapat memberikan budi pekerti melalui sangan, karena anak-anak memiliki imajinasi yang masih tinggi, sehingga mereka lebih mudah menerima pengajaran mengenai budi pekerti melalui cerita dalam sangan. Sangan tidak terbatas kepada yang sudah ada, keberhasilan Besangan ini tergantung kepada Penyangan bagaimana menyampaikan cerita, tokoh dalam cerita serta budi pekerti dalam cerita seperti menyayangi orang tua, sesama, alam dan lingkungan.
Namun sekarang sudah jarang anak-anak yang suka mendengarkan sangan, karena mereka lebih suka menonton acara televisi. Perkembangan teknologi saat ini memang tidak bisa dihindari, semuanya kembali lagi ke orang tua bagaimana menyikapinya. Semoga warisan budaya yang positif ini selalu lestari dan dapat dinikmati oleh generasi-generasi selanjutnya.

Musik dan Lagu Dayak

      Ketika berbicara tentang lagu dayak, yang pertama kali terlintas dalam pikiran adalah lagu yang diiringi instrumen musik daerah dan tarian dayak. Hal ini sepertinya sudah menjadi satu kesatuan yang klasik. Setiap kali kita perhatikan video klip lagu dayak, sebagian besar memiliki unsur-unsur tersebut. Komposisi ini menegaskan bahwa tarian dan alat musik tradisional harus ada dalam lagu dayak dan ini menjadi ciri khas lagu dayak walaupun dominan atau tidak dalam komposisi lagu.
         Kembali ke tema tentang musik dan lagu dayak, di Kalimantan Barat khususnya kab. Ketapang, lagu dayak Kanayatn cukup populer, walaupun bahasa dayak Kanayatn berasal dari kab. Landak, lagu-lagu Kanayatn mudah diterima oleh masyarakat setempat. Hal ini tidak terlepas dari tema yang diusung, dan aransemen lagu yang enak untuk didengarkan.
        Dayak Krio merupakan sub suku dayak di daerah kab. Ketapang yang juga memiliki lagu daerah setempat dan tentunya menggunakan bahasa dayak Krio. Namun kalau dibandingkan dengan lagu dayak Kanayatn, lagu dayak Krio kurang dalam hal kuantitas, padahal banyak potensi yang tersimpan di daerah untuk diangkat atau dijadikan tema lagu. Mungkin salah satu penyebabnya adalah belum adanya fasilitas penunjang yang mampu untuk membantu musisi dayak Krio untuk menciptakan karyanya. 
      Tema seperti tentang alam sekitar, hubungan dengan Tuhan Yang Maha Kuasa, adat istiadat setempat, tentang kehidupan manusia, tentang cinta terhadap sesama merupakan tema yang menarik dan mudah diterima oleh masyarakat. Salah satu lagu dayak Krio yang berjudul "Pupu' Tagua" merupakan lagu dengan tema alam sekitar. Lagu ini menceritakan tentang tempat yang bernama Pupu' Tagua yang menurut catatan sejarah adalah kerajaan Dayak pada zaman dahulu. Daerah yang masih asri, ditambah dengan kontur alam yang menarik serta satwa yang masih banyak menjadikan daerah ini menjadi tempat yang sangat indah. 
     Semoga ini bisa menjadi inspirasi untuk para musisi dayak Krio untuk tetap berkarya menciptakan lagu-lagu dayak Krio yang berkualitas, secara komposisi mulai dari aransemen instrumen serta pemilihan penyanyi yang menguasai tehnik menyanyi dan menguasai materi lagu, agar tercipta lagu yang indah untuk didengar.

Kamis, 21 November 2013

Gambaran Sekolah Dasar Negeri 05 Sepanggang Desa Benua Krio Kec. Hulu Sungai

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhBqoXP0a5tkX9mjJXgE-PJ6bOPjSY-9yElGbIzkVRdafpuvJfEl18BEvmrrYOlHpRvhAqoC4qm18jxO4yWV2btH7b3ua_E1Ay7PLK8tTjJUHplzoAWhhjNO-PF9jhuwlGkQkcE9w4N2h2Z/s1600/P8150181.JPG
Papan Nama Sekolah Yang Belum Disesuaikan
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgT8gEHHR2XJbwBlwJ3Sbaf3sWE9bnUsITm4W-3GXcwr0GT5Tr6N2gykzkobZeAtmR0MljX7rRKqb4jQVTTwLSZx-MsGGxPfRiHSAO82DAf8_l2DG7rfF6GWK-ctwYZ6w0PCSEBzLi11FNy/s1600/P8150177.JPGhttps://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiqNRFLxQEsHfkhkti92gCNKHBJX_UhqBZyenM1vY0TOdkxtUFMru5-NGetT1BXPRYpWU1Aiu3GfbQ2_yUL1bXTogCyHEZq9hcg0TROGNwZSxVEhdVydNRdR7z6Sk4Hw_P36h5P3OFEX-fh/s1600/P8150180.JPG

Sekelumit Sejarah Dayak Krio

Berikut adalah sekelumit sejarah mengenai Dayak Krio

A. Sejarah, Asal-Usul dan Penyebarannya
Krio adalah nama sungai yang termasuk dalam wilayah administratif Kecamatan Sandai di Kabupaten Ketapang. Sungai ini telah memberi arti bagi masyarakat yang bermukim di sepanjang Sungai Krio terutama bagi orang Dayak. Kelompok masyarakat Dayak yang bermukim di Sungai Krio ini cenderung menyebut identitas diri mereka sebagai orang Krio.
Subsuku yang umumnya bermukim di Sungai Krio ini diperkirakan berjumlah 3.254 jiwa. Jumlah ini merupakan jumlah orang Krio yang berada di Kampung Menyumbung. Selain di Kampung Menyumbung, bahasa Krio juga dituturkan di beberapa hunian subsuku Dayak Krio, seperti di Kampung: Mariangin, Sepanggang, dan Sengkuang.
Asal-usul subsuku Dayak Krio, pada hakikatnya berkaitan erat dengan legenda penyebaran suku dan bahasa di Simpang Hulu. Namun demikian pada subsuku Dayak Krio masih dapat dijumpai anggota masyarakat yang mempunyai hubungan langsung (garis keturunan) dengan Dayakng Putukng. Menurut legenda masyarakat Krio, konon di hulu Sungai Krio pernah ada sebuah kerajaan kecil, di bawah kepemimpinan Raja Sia’ Beulutn. Kerjaan ini bertahta di Babio Tanah Tarap. Raja ini terkenal keji dan suka memperbudak rakyatnya, terlebih lagi isterinya. Peristiwa perbudakan yang tak luput dilupakan oleh masyarakat Krio hingga kini ialah peristiwa batang pohon kayu ulin sebesar drum disuruh olah, hanya untuk pembersih gigi.
Perbudakan ini, membuat rakyat menjadi benci. Mereka ingin membunuhnya. Pada saat raja beristirahat di rumahnya. Sekeliling rumahnya ditebas-tebang untuk mempersiapkan usaha perladangan. Kemudian lahan itu akan dibakar. Akan tetapi, rakyatnya gagal. Raja diselamatkan oleh rimbunan bambu betung. Dalam betung itu rupanya ada tujuh manusia. Salah satunya adalah Dayakng Putung. Ketika ditemukan dalam bambu tersebut, tangan dan kaki Dayakng Putung masih berupa gumpalan darah. Menurut tradisi Dayak Krio, ia harus dibuang (dihanyutkan). Akan tetapi, kenyataannya Dayakng Putung hidup hingga dewasa dan kawin dengan Prabu Jaya.

B. Struktur Sosial 
1. Kekerabatan
Sistem kekerabatan dalam masyarakat Dayak Krio sama seperti sistem kekerabatan yang dikenal dalam masyarakat Dayak pada umumnya yaitu berdasarkan prinsip keturunan ambilineal atau biasa juga disebut parental dimana garis keturunan ayah dan ibu dinyatakan sejajar.
Hal itu berbeda dengan sistem patrilineal (garis keturunan ayah/lelaki) dan sistem matrilineal (garis keturunan ibu/perempuan). Oleh sebab itu dalam struktur masyarakat Dayak Krio, pada hakekatnya kaum perempuan mempunyai kedudukan yang sama dengan kaum pria, baik dalam praktek kehidupan sosial maupun dalam kehidupan religius

2. Perkawinan
Seperti halnya dengan suku-etnis di dunia, saat peralihan yang penting dalam lingkaran hidup Iyang Krio (Orang Dayak Krio) adalah perkawinan. Pada suku Dayak Krio perkawinan yang sangat ideal dan dikehendaki oleh masyarakat pada umumnya yaitu perkawinan di antara dua orang bersaudara sepupu yang dotuk-dotuknya (kakek-kakeknya) adalah saudara sekandung yaitu apa yang disebut Sanak Iyang dalam bahasa Dayak Krio (saudara sepupu derajat ketiga).
Selain itu juga dianggap baik perkawinan diantara dua orang saudara sepupu yang kakek-kakek atau nenek-neneknya adalah saudara sekandung yang dalam bahasa Krio disebut Sanak Inik, serta perkawinan diantara dua saudara sepupu yang ibu-ibunya atau ayah-ayahnya adalah saudara sekandung.
Perkawinan yang dianggap Sumakng (sumbang) adalah perkawinan di antara saudara sepupu yang ayah dan ibunya adalah bersaudara dan terutama sekali perkawinan di antara orang-orang dari generasi yang berbeda. Misalnya antara seorang anak dengan orang tuanya, atau antara seorang gadis dengan pamannya (dalam bahasa Krio disebut Nongah untuk yang di tengah, Julak untuk yang tua dan Busu' untuk yang bungsu).
Persetubuhan antara Nongah, Julak atau Busu’ dengan kemenakannya dianggap sesuatu yang sangat buruk, karena itu perlu diadakan upacara untuk penghapus dosa. Dalam hal ini kedua orang yang bersalah dikenai hukuman yang disebut Cabuh Aik yang artinya mandi dengan darah babi, sebelumnya kedua orang yang bersalah tersebut makan bersama menggunakan palangkuk (tempat makan babi) yang disaksikan oleh semua warga yang sengaja diundang untuk menyaksikan upacara tersebut.
Pantang-pantang tersebut apabila dilanggar berarti tulah yang akan menimbulkan bencana, bukan hanya pada orang-orang yang bersangkutan akan tetapi pada seluruh warga masyarakat. Oleh karena itu perlu dicegah dengan upacara adat seperti tersebut di atas.
Dalam masyarakat Dayak Krio ada yang disebut Sumakng Duata,artinya walaupun tidak melalui perkawinan, tetapi di mata Duata adalah Sumakng. Misalnya: Tidak pantas apabila ada seorang anak laki-laki yang sudah dewasa tinggal satu rumah dengan Ibunya atau antara seorang anak gadis tinggal satu rumah dengan Bapaknya tanpa ada orang ketiga di rumah tersebut, apalagi jika mereka tinggal jauh dari permukiman penduduk lainnya. Walaupun mereka tidak melakukan persetubuhan tetapi di mata Duata sudah dikatakan Sumakng.

3. Struktur Perumahan
Dengan sebutan rumah bosar (rumah besar), dari namanya saja bisa dipahami bahwa rumah bosar di tanah Krio berbeda dengan istilah rumah betang atau lamin (rumah panjang) yang terdapat pada sub-sub Suku Dayak pada umumnya. Perbedaan terletak pada bentuknya. Jika pada rumah panjang (betang) bentuknya memanjang serta mempunyai pintu yang banyak dengan penghuninya bisa mencapai puluhan kepala keluarga (KK), maka pada rumah bosar hanya mempunyai satu pintu yang di dalamnya terdapat beberapa bilik untuk menampung beberapa keluarga, pada umumnya kurang dari sepuluh KK.
Rumah bosar terdiri dari bagian kiri dan kanan tempat istirahat tiap keluarga kecil yang dibatasi oleh dinding yang disebut bilik. Bagian belakang merupakan dapur bersama, bagian tengah untuk ruang keluarga, serta bagian depan (biasa disebut panto atau palontar) yaitu bagian yang tidak memiliki atap merupakan tempat santai pada sore hari serta pada siang hari digunakan untuk tempat jemuran. Kegiatan untuk mewariskan tradisi lisan kepada generasi penerusnya seperti membuat kerajinan tangan, peralatan tradisional serta penuturan cerita (sanzangan dan gesah) dilakukan di ruangan keluarga.
Namun sekarang setelah pola permukiman berubah dari rumah bosar menjadi rumah tunggal yang hanya menampung keluarga inti, maka proses kegiatan yang berhubungan dengan tradisi lisan hampir tidak pernah dilakukan lagi. Pada malam hari anggota keluarga lebih senang keluar rumah untuk nonton, jalan-jalan serta berkunjung ke tempat keluarga yang lain dan pulang sudah larut malam, sehingga jarang sekali terjadi interaksi dalam suatu keluarga, apalagi untuk mewariskan tradisi lisan kepada generasi penerusnya. Sehingga perubahan pola permukiman turut membantu musnahnya tradisi lisan suku Dayak Krio.

C. Organisasi Sosial
Organisasi sosial yang berlaku dalam masyarakat adat di tanah Krio hanya berlaku untuk satu kampung, maksudnya antara kampung yang satu dengan kampung yang lain tidak memiliki hubungan hirarkis. Adapun struktur dimaksud sebagaimana yang ada sekarang adalah sebagai berikut:
Domong adat
Mantir-Mantir dan Tuha-Tuha
Masyarakat

Domong Adat berarti kepala adat. Sebagai seorang kepala wilayah masyarakat adat tugas dan wewenang:
1. Mengesahkan keputusan dalam upacara adat,
2. Memutuskan perkara atau perselisihan yang terjadi antar sesama warga masyarakat, dan
3. Membuat adat baru atau mengubah adat dengan persetujuan masyarakat ramai dengan ditandai penanaman mangkuk pasak paguh.
Mantir-Mantir dan Tuha-Tuha
Yang termasuk dalam kelompok ini adalah golongan tua yang sangat berpengaruh dalam masyarakat, berpengaruh dalam hal ini karena memiliki pengetahuan yang luas khususnya dalam adatistiadat. Golongan ini terdiri dari para sesepuh masyarakat, mantan-mantan pejabat di kampung, orang-orang tua yang sudah senior yang dianggap memiliki pengetahuan yang luas, para guru, tokoh agama, serta perangkatperangkat kampung.
Hubungan antara Domong Adat, Mantir-Mantir dan Tuha-Tuha dengan Masyarakat bukanlah menunjukkan hubungan seperti atasan dengan bawahan akan tetapi mereka menjalankan tugas sesuai dengan perannya masingmasing.
Organisasi di atas berlaku bagi semua kampung Dayak yang ada di tanah Krio. Walaupun sistem pemerintahan yang ada sekarang mempersatukan beberapa dusun menjadi satu desa akan tetapi tidak mempengaruhi sistem yang berlaku dalam masyarakat adat.
Selain gelar di atas berlaku pula di tanah Krio pada jaman dahulu lain, yaitu Samputut (kepala suku), Patih (kepala kampung atau mantirmantir), Yang Kaya (kepala kampung atau mantir-mantir setingkat di bawah patih),Tomongukng (kepala kampung atau mantir-mantir setingkat di bawah Yang Kaya), dan Kanuruh (kepala kampung atau mantir-mantir setingkat di bawah Tamongukng). Yang berhak memberikan nama-nama gelar tersebut adalah Mantir Laman (Mantir-Mantir) berdasarkan masukan dan usulan dari masyarakat ramai.
sebagai berikut yaitu Ria (biasanya yang memperoleh gelar ini adalah mereka yang paling senior), Kanuruh dan Kabihi. Selain tiga tingkatan yang ada, adat-istiadat Krio memiliki pula seorang pembantu adat di setiap kampung yang disebut Prabu. Selain pembantu adat terdapat pula pembantu kepala kampung yang disebut Patingi, Mas Jayakng.

Sumber : 
1. http://www.kebudayaan-dayak.org/index.php?title=Dayak_Krio
2. Alloy, Sujarni, dkk.,MOZAIK DAYAK: Keberagaman Subsuku dan Bahasa Dayak di Kalimantan Barat, Institut Dayakologi, Pontianak, 2008.
3. Sayu, Silvia, dkk.2003"Tradisi Lisan Dayak Krio:Khazanah Yang Semakin Terlupakan", dalam John (eds.), TRADISI LISAN DAYAK Yang Tergusur dan Terlupakan, Institut Dayakologi, Pontianak, 2003.

Alam Dusun Sepanggang Desa Benua Krio dan Wajah-Wajah Masa Depan Benua Kerio

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhiKHH04zmsde41W9Kb4_wP21PrNnepjw0Gtpon-oCJXN8_j-M6clPW2l44DRNbnlFGzFbUtinBEg6EKkvJlS2OWsiCOqysNhBABzpjiQeKX5l5nSD4YPfxF8mvETxg-0HYpt3KM6pu5ofa/s1600/IMG00165-20120821-1732.jpghttps://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgyFXhY5wBdm-eUrWDCXBWbSqbEa6fdTxPoxxBg-q9jGMUVIwYqVgpOqL-j3Oh1P4AcZBZbupKdNhpgXA4Jwc1ZMRuLD8U76BKAOOnLb8s8kgxW3nsPxPyhd62h_LpYn7HbHFf7FrH4w45B/s1600/IMG00164-20120821-1713.jpg

Karang Kahayun, Dusun Sepanggang Desa Benua Krio

Karang Kahayun, Dusun Sepanggang Desa Benua Krio (2012)














       Keindahan air sungai Kerio ini jarang terlihat dalam beberapa tahun terakhir ini. Hal itu disebabkan adanya pertambangan emas yang dilakukan di sungai Kerio, entah pertambangan emas legal atau ilegal, yang jelas keberadaan pertambangan emas ini membuat kondisi air sungai Kerio tidak bisa dikonsumsi lagi. Kondisi air pun keruh dan ditambah lagi dengan susahnya mencari ikan di sungai ini, tidak seperti sebelum pertambangan emas dilakukan. Hasil dari penambangan emas ini pun tidak dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat karena penambangan dilakukan oleh warga yang dilakukan secara individu. Semoga hal ini menjadi perhatian pemerintah setempat dan ada tindakan nyata untuk menjaga kelestarian dan keindahan alam di Benua Kerio.
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjecXRuPIfR5mZ-wtYAbO2L2kIdRUd9MkQZbPPfVCZXkV3v39103ejCSNrKRGSTK-k-m5cTK5_1bz-56g566asQ88oM6RDU_34SryeDBWstGsZYWl9krOYc5J-fbxL0gh1d50Z86F-cfqlR/s1600/IMG00136-20120821-1703.jpg

Krio Menangis

Sungai Krio (2012)
"Pilu' hatiku ninyok kampukng ku, hutatnnya rusak, sungenya koruh, aku teringat gesah gai' ku, aman gi' dolu' nyaman badiap. Sunge Krio tompatku mani', damone aku gala manonang, sunge krio nama ai' nya, laman mimukng nama tompatnya. Ooo Krio ku, kampukng laman ku hutatn sunge ku. Dautn baguyakng da ciup angin, burukng tarobakng rango pan jatu', pilu' atiku ninyo' hutatn ku, Krio manangis sungenya rusak".

Kutipan kata-kata di atas adalah petikan lagu daerah Dayak Krio yang berjudul Krio Manangis. Lagu tersebut bercerita tentang kerusakan alam yang disebabkan oleh manusia. Dalam lagu tersebut dikatakan hutan rusak dan sungai keruh. 
Hutan merupakan salah satu aset penting bagi masyarakat daerah Krio, begitupun dengan sungai. Di hutan masyarakat bisa memanfaatkan sumber daya yang ada seperti karet, rotan, madu dan buah-buahan hutan. Begitupun sungai, masyarakat menggunakan sungai sebagai salah satu sarana transportasi, selain itu juga untuk aktivitas sehari-hari seperti mencuci dan mandi.
Seiring 'kemajuan zaman', ekploitasi alam mulai dilakukan oleh pihak-pihak tertentu dengan melibatkan masyarakat setempat, eksploitasi dilakukan tanpa memelihara kebersihan dan kenyamanan lingkungan. Salah satu eksploitasi yang paling dirasakan efeknya adalah Penambangan Emas. Penambangan emas dilakukan di sungai Krio yang merupakan tempat masyarakat beraktiviatas. Penambangan ini menyebabkan sungai menjadi keruh, tumpukan batu dan pasir menghalangi arus air sungai. Lebih menakutkan lagi, pihak penambang menggunakan zat kimia untuk memisahkan emas dari pasir, yaitu Merkuri (Hydragyrum) dan limbah dibuang di sungai. Zat ini mencemari sungai dan membuat ekosistem sungai rusak. Sebelum dilakukan penambangan emas, masyarakat sangat mudah mendapatkan ikan, namun sekarang, ikan menjadi sulit didapat.
Warga pun tidak berani lagi memanfaatkan air sungai Krio untuk konsumsi sehari-hari, masyarakat memilih menggunakan air dari perbukitan di sekitar kampung. 
Semoga pemerintah setempat memiliki kepedulian terhadap alam dan lingkungan khususnya daerah Benua Krio dan sekitarnya, sehingga kelestarian alam tetap terjaga tanpa mengabaikan kemajuan zaman.