Kamis, 21 November 2013

Sekelumit Sejarah Dayak Krio

Berikut adalah sekelumit sejarah mengenai Dayak Krio

A. Sejarah, Asal-Usul dan Penyebarannya
Krio adalah nama sungai yang termasuk dalam wilayah administratif Kecamatan Sandai di Kabupaten Ketapang. Sungai ini telah memberi arti bagi masyarakat yang bermukim di sepanjang Sungai Krio terutama bagi orang Dayak. Kelompok masyarakat Dayak yang bermukim di Sungai Krio ini cenderung menyebut identitas diri mereka sebagai orang Krio.
Subsuku yang umumnya bermukim di Sungai Krio ini diperkirakan berjumlah 3.254 jiwa. Jumlah ini merupakan jumlah orang Krio yang berada di Kampung Menyumbung. Selain di Kampung Menyumbung, bahasa Krio juga dituturkan di beberapa hunian subsuku Dayak Krio, seperti di Kampung: Mariangin, Sepanggang, dan Sengkuang.
Asal-usul subsuku Dayak Krio, pada hakikatnya berkaitan erat dengan legenda penyebaran suku dan bahasa di Simpang Hulu. Namun demikian pada subsuku Dayak Krio masih dapat dijumpai anggota masyarakat yang mempunyai hubungan langsung (garis keturunan) dengan Dayakng Putukng. Menurut legenda masyarakat Krio, konon di hulu Sungai Krio pernah ada sebuah kerajaan kecil, di bawah kepemimpinan Raja Sia’ Beulutn. Kerjaan ini bertahta di Babio Tanah Tarap. Raja ini terkenal keji dan suka memperbudak rakyatnya, terlebih lagi isterinya. Peristiwa perbudakan yang tak luput dilupakan oleh masyarakat Krio hingga kini ialah peristiwa batang pohon kayu ulin sebesar drum disuruh olah, hanya untuk pembersih gigi.
Perbudakan ini, membuat rakyat menjadi benci. Mereka ingin membunuhnya. Pada saat raja beristirahat di rumahnya. Sekeliling rumahnya ditebas-tebang untuk mempersiapkan usaha perladangan. Kemudian lahan itu akan dibakar. Akan tetapi, rakyatnya gagal. Raja diselamatkan oleh rimbunan bambu betung. Dalam betung itu rupanya ada tujuh manusia. Salah satunya adalah Dayakng Putung. Ketika ditemukan dalam bambu tersebut, tangan dan kaki Dayakng Putung masih berupa gumpalan darah. Menurut tradisi Dayak Krio, ia harus dibuang (dihanyutkan). Akan tetapi, kenyataannya Dayakng Putung hidup hingga dewasa dan kawin dengan Prabu Jaya.

B. Struktur Sosial 
1. Kekerabatan
Sistem kekerabatan dalam masyarakat Dayak Krio sama seperti sistem kekerabatan yang dikenal dalam masyarakat Dayak pada umumnya yaitu berdasarkan prinsip keturunan ambilineal atau biasa juga disebut parental dimana garis keturunan ayah dan ibu dinyatakan sejajar.
Hal itu berbeda dengan sistem patrilineal (garis keturunan ayah/lelaki) dan sistem matrilineal (garis keturunan ibu/perempuan). Oleh sebab itu dalam struktur masyarakat Dayak Krio, pada hakekatnya kaum perempuan mempunyai kedudukan yang sama dengan kaum pria, baik dalam praktek kehidupan sosial maupun dalam kehidupan religius

2. Perkawinan
Seperti halnya dengan suku-etnis di dunia, saat peralihan yang penting dalam lingkaran hidup Iyang Krio (Orang Dayak Krio) adalah perkawinan. Pada suku Dayak Krio perkawinan yang sangat ideal dan dikehendaki oleh masyarakat pada umumnya yaitu perkawinan di antara dua orang bersaudara sepupu yang dotuk-dotuknya (kakek-kakeknya) adalah saudara sekandung yaitu apa yang disebut Sanak Iyang dalam bahasa Dayak Krio (saudara sepupu derajat ketiga).
Selain itu juga dianggap baik perkawinan diantara dua orang saudara sepupu yang kakek-kakek atau nenek-neneknya adalah saudara sekandung yang dalam bahasa Krio disebut Sanak Inik, serta perkawinan diantara dua saudara sepupu yang ibu-ibunya atau ayah-ayahnya adalah saudara sekandung.
Perkawinan yang dianggap Sumakng (sumbang) adalah perkawinan di antara saudara sepupu yang ayah dan ibunya adalah bersaudara dan terutama sekali perkawinan di antara orang-orang dari generasi yang berbeda. Misalnya antara seorang anak dengan orang tuanya, atau antara seorang gadis dengan pamannya (dalam bahasa Krio disebut Nongah untuk yang di tengah, Julak untuk yang tua dan Busu' untuk yang bungsu).
Persetubuhan antara Nongah, Julak atau Busu’ dengan kemenakannya dianggap sesuatu yang sangat buruk, karena itu perlu diadakan upacara untuk penghapus dosa. Dalam hal ini kedua orang yang bersalah dikenai hukuman yang disebut Cabuh Aik yang artinya mandi dengan darah babi, sebelumnya kedua orang yang bersalah tersebut makan bersama menggunakan palangkuk (tempat makan babi) yang disaksikan oleh semua warga yang sengaja diundang untuk menyaksikan upacara tersebut.
Pantang-pantang tersebut apabila dilanggar berarti tulah yang akan menimbulkan bencana, bukan hanya pada orang-orang yang bersangkutan akan tetapi pada seluruh warga masyarakat. Oleh karena itu perlu dicegah dengan upacara adat seperti tersebut di atas.
Dalam masyarakat Dayak Krio ada yang disebut Sumakng Duata,artinya walaupun tidak melalui perkawinan, tetapi di mata Duata adalah Sumakng. Misalnya: Tidak pantas apabila ada seorang anak laki-laki yang sudah dewasa tinggal satu rumah dengan Ibunya atau antara seorang anak gadis tinggal satu rumah dengan Bapaknya tanpa ada orang ketiga di rumah tersebut, apalagi jika mereka tinggal jauh dari permukiman penduduk lainnya. Walaupun mereka tidak melakukan persetubuhan tetapi di mata Duata sudah dikatakan Sumakng.

3. Struktur Perumahan
Dengan sebutan rumah bosar (rumah besar), dari namanya saja bisa dipahami bahwa rumah bosar di tanah Krio berbeda dengan istilah rumah betang atau lamin (rumah panjang) yang terdapat pada sub-sub Suku Dayak pada umumnya. Perbedaan terletak pada bentuknya. Jika pada rumah panjang (betang) bentuknya memanjang serta mempunyai pintu yang banyak dengan penghuninya bisa mencapai puluhan kepala keluarga (KK), maka pada rumah bosar hanya mempunyai satu pintu yang di dalamnya terdapat beberapa bilik untuk menampung beberapa keluarga, pada umumnya kurang dari sepuluh KK.
Rumah bosar terdiri dari bagian kiri dan kanan tempat istirahat tiap keluarga kecil yang dibatasi oleh dinding yang disebut bilik. Bagian belakang merupakan dapur bersama, bagian tengah untuk ruang keluarga, serta bagian depan (biasa disebut panto atau palontar) yaitu bagian yang tidak memiliki atap merupakan tempat santai pada sore hari serta pada siang hari digunakan untuk tempat jemuran. Kegiatan untuk mewariskan tradisi lisan kepada generasi penerusnya seperti membuat kerajinan tangan, peralatan tradisional serta penuturan cerita (sanzangan dan gesah) dilakukan di ruangan keluarga.
Namun sekarang setelah pola permukiman berubah dari rumah bosar menjadi rumah tunggal yang hanya menampung keluarga inti, maka proses kegiatan yang berhubungan dengan tradisi lisan hampir tidak pernah dilakukan lagi. Pada malam hari anggota keluarga lebih senang keluar rumah untuk nonton, jalan-jalan serta berkunjung ke tempat keluarga yang lain dan pulang sudah larut malam, sehingga jarang sekali terjadi interaksi dalam suatu keluarga, apalagi untuk mewariskan tradisi lisan kepada generasi penerusnya. Sehingga perubahan pola permukiman turut membantu musnahnya tradisi lisan suku Dayak Krio.

C. Organisasi Sosial
Organisasi sosial yang berlaku dalam masyarakat adat di tanah Krio hanya berlaku untuk satu kampung, maksudnya antara kampung yang satu dengan kampung yang lain tidak memiliki hubungan hirarkis. Adapun struktur dimaksud sebagaimana yang ada sekarang adalah sebagai berikut:
Domong adat
Mantir-Mantir dan Tuha-Tuha
Masyarakat

Domong Adat berarti kepala adat. Sebagai seorang kepala wilayah masyarakat adat tugas dan wewenang:
1. Mengesahkan keputusan dalam upacara adat,
2. Memutuskan perkara atau perselisihan yang terjadi antar sesama warga masyarakat, dan
3. Membuat adat baru atau mengubah adat dengan persetujuan masyarakat ramai dengan ditandai penanaman mangkuk pasak paguh.
Mantir-Mantir dan Tuha-Tuha
Yang termasuk dalam kelompok ini adalah golongan tua yang sangat berpengaruh dalam masyarakat, berpengaruh dalam hal ini karena memiliki pengetahuan yang luas khususnya dalam adatistiadat. Golongan ini terdiri dari para sesepuh masyarakat, mantan-mantan pejabat di kampung, orang-orang tua yang sudah senior yang dianggap memiliki pengetahuan yang luas, para guru, tokoh agama, serta perangkatperangkat kampung.
Hubungan antara Domong Adat, Mantir-Mantir dan Tuha-Tuha dengan Masyarakat bukanlah menunjukkan hubungan seperti atasan dengan bawahan akan tetapi mereka menjalankan tugas sesuai dengan perannya masingmasing.
Organisasi di atas berlaku bagi semua kampung Dayak yang ada di tanah Krio. Walaupun sistem pemerintahan yang ada sekarang mempersatukan beberapa dusun menjadi satu desa akan tetapi tidak mempengaruhi sistem yang berlaku dalam masyarakat adat.
Selain gelar di atas berlaku pula di tanah Krio pada jaman dahulu lain, yaitu Samputut (kepala suku), Patih (kepala kampung atau mantirmantir), Yang Kaya (kepala kampung atau mantir-mantir setingkat di bawah patih),Tomongukng (kepala kampung atau mantir-mantir setingkat di bawah Yang Kaya), dan Kanuruh (kepala kampung atau mantir-mantir setingkat di bawah Tamongukng). Yang berhak memberikan nama-nama gelar tersebut adalah Mantir Laman (Mantir-Mantir) berdasarkan masukan dan usulan dari masyarakat ramai.
sebagai berikut yaitu Ria (biasanya yang memperoleh gelar ini adalah mereka yang paling senior), Kanuruh dan Kabihi. Selain tiga tingkatan yang ada, adat-istiadat Krio memiliki pula seorang pembantu adat di setiap kampung yang disebut Prabu. Selain pembantu adat terdapat pula pembantu kepala kampung yang disebut Patingi, Mas Jayakng.

Sumber : 
1. http://www.kebudayaan-dayak.org/index.php?title=Dayak_Krio
2. Alloy, Sujarni, dkk.,MOZAIK DAYAK: Keberagaman Subsuku dan Bahasa Dayak di Kalimantan Barat, Institut Dayakologi, Pontianak, 2008.
3. Sayu, Silvia, dkk.2003"Tradisi Lisan Dayak Krio:Khazanah Yang Semakin Terlupakan", dalam John (eds.), TRADISI LISAN DAYAK Yang Tergusur dan Terlupakan, Institut Dayakologi, Pontianak, 2003.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar