Berikut adalah sekelumit sejarah mengenai Dayak Krio
A. Sejarah, Asal-Usul dan Penyebarannya
Krio
adalah nama sungai yang termasuk dalam wilayah administratif Kecamatan
Sandai di Kabupaten Ketapang. Sungai ini telah memberi arti bagi
masyarakat yang bermukim di sepanjang Sungai Krio terutama bagi orang
Dayak. Kelompok masyarakat Dayak yang bermukim di Sungai Krio ini
cenderung menyebut identitas diri mereka sebagai orang Krio.
Subsuku
yang umumnya bermukim di Sungai Krio ini diperkirakan berjumlah 3.254
jiwa. Jumlah ini merupakan jumlah orang Krio yang berada di Kampung
Menyumbung. Selain di Kampung Menyumbung, bahasa Krio juga dituturkan di
beberapa hunian subsuku Dayak Krio, seperti di Kampung: Mariangin,
Sepanggang, dan Sengkuang.
Asal-usul
subsuku Dayak Krio, pada hakikatnya berkaitan erat dengan legenda
penyebaran suku dan bahasa di Simpang Hulu. Namun demikian pada subsuku
Dayak Krio masih dapat dijumpai anggota masyarakat yang mempunyai
hubungan langsung (garis keturunan) dengan Dayakng Putukng. Menurut
legenda masyarakat Krio, konon di hulu Sungai Krio pernah ada sebuah
kerajaan kecil, di bawah kepemimpinan Raja Sia’ Beulutn. Kerjaan ini
bertahta di Babio Tanah Tarap. Raja ini terkenal keji dan suka
memperbudak rakyatnya, terlebih lagi isterinya. Peristiwa perbudakan
yang tak luput dilupakan oleh masyarakat Krio hingga kini ialah
peristiwa batang pohon kayu ulin sebesar drum disuruh olah, hanya untuk
pembersih gigi.
Perbudakan
ini, membuat rakyat menjadi benci. Mereka ingin membunuhnya. Pada saat
raja beristirahat di rumahnya. Sekeliling rumahnya ditebas-tebang untuk
mempersiapkan usaha perladangan. Kemudian lahan itu akan dibakar. Akan
tetapi, rakyatnya gagal. Raja diselamatkan oleh rimbunan bambu betung.
Dalam betung itu rupanya ada tujuh manusia. Salah satunya adalah Dayakng
Putung. Ketika ditemukan dalam bambu tersebut, tangan dan kaki Dayakng
Putung masih berupa gumpalan darah. Menurut tradisi Dayak Krio, ia harus
dibuang (dihanyutkan). Akan tetapi, kenyataannya Dayakng Putung hidup
hingga dewasa dan kawin dengan Prabu Jaya.
B. Struktur Sosial
1. Kekerabatan
Sistem
kekerabatan dalam masyarakat Dayak Krio sama seperti sistem kekerabatan
yang dikenal dalam masyarakat Dayak pada umumnya yaitu berdasarkan
prinsip keturunan ambilineal atau biasa juga disebut parental dimana
garis keturunan ayah dan ibu dinyatakan sejajar.
Hal
itu berbeda dengan sistem patrilineal (garis keturunan ayah/lelaki) dan
sistem matrilineal (garis keturunan ibu/perempuan). Oleh sebab itu
dalam struktur masyarakat Dayak Krio, pada hakekatnya kaum perempuan
mempunyai kedudukan yang sama dengan kaum pria, baik dalam praktek
kehidupan sosial maupun dalam kehidupan religius
2. Perkawinan
Seperti
halnya dengan suku-etnis di dunia, saat peralihan yang penting dalam
lingkaran hidup Iyang Krio (Orang Dayak Krio) adalah perkawinan. Pada
suku Dayak Krio perkawinan yang sangat ideal dan dikehendaki oleh
masyarakat pada umumnya yaitu perkawinan di antara dua orang bersaudara
sepupu yang dotuk-dotuknya (kakek-kakeknya) adalah saudara sekandung
yaitu apa yang disebut Sanak Iyang dalam bahasa Dayak Krio (saudara
sepupu derajat ketiga).
Selain
itu juga dianggap baik perkawinan diantara dua orang saudara sepupu
yang kakek-kakek atau nenek-neneknya adalah saudara sekandung yang dalam
bahasa Krio disebut Sanak Inik, serta perkawinan diantara dua saudara
sepupu yang ibu-ibunya atau ayah-ayahnya adalah saudara sekandung.
Perkawinan
yang dianggap Sumakng (sumbang) adalah perkawinan di antara saudara
sepupu yang ayah dan ibunya adalah bersaudara dan terutama sekali
perkawinan di antara orang-orang dari generasi yang berbeda. Misalnya
antara seorang anak dengan orang tuanya, atau antara seorang gadis
dengan pamannya (dalam bahasa Krio disebut Nongah untuk yang di tengah,
Julak untuk yang tua dan Busu' untuk yang bungsu).
Persetubuhan
antara Nongah, Julak atau Busu’ dengan kemenakannya dianggap sesuatu
yang sangat buruk, karena itu perlu diadakan upacara untuk penghapus
dosa. Dalam hal ini kedua orang yang bersalah dikenai hukuman yang
disebut Cabuh Aik yang artinya mandi dengan darah babi, sebelumnya kedua
orang yang bersalah tersebut makan bersama menggunakan palangkuk
(tempat makan babi) yang disaksikan oleh semua warga yang sengaja
diundang untuk menyaksikan upacara tersebut.
Pantang-pantang
tersebut apabila dilanggar berarti tulah yang akan menimbulkan bencana,
bukan hanya pada orang-orang yang bersangkutan akan tetapi pada seluruh
warga masyarakat. Oleh karena itu perlu dicegah dengan upacara adat
seperti tersebut di atas.
Dalam
masyarakat Dayak Krio ada yang disebut Sumakng Duata,artinya walaupun
tidak melalui perkawinan, tetapi di mata Duata adalah Sumakng. Misalnya:
Tidak pantas apabila ada seorang anak laki-laki yang sudah dewasa
tinggal satu rumah dengan Ibunya atau antara seorang anak gadis tinggal
satu rumah dengan Bapaknya tanpa ada orang ketiga di rumah tersebut,
apalagi jika mereka tinggal jauh dari permukiman penduduk lainnya.
Walaupun mereka tidak melakukan persetubuhan tetapi di mata Duata sudah
dikatakan Sumakng.
3. Struktur Perumahan
Dengan
sebutan rumah bosar (rumah besar), dari namanya saja bisa dipahami
bahwa rumah bosar di tanah Krio berbeda dengan istilah rumah betang atau
lamin (rumah panjang) yang terdapat pada sub-sub Suku Dayak pada
umumnya. Perbedaan terletak pada bentuknya. Jika pada rumah panjang
(betang) bentuknya memanjang serta mempunyai pintu yang banyak dengan
penghuninya bisa mencapai puluhan kepala keluarga (KK), maka pada rumah
bosar hanya mempunyai satu pintu yang di dalamnya terdapat beberapa
bilik untuk menampung beberapa keluarga, pada umumnya kurang dari
sepuluh KK.
Rumah bosar
terdiri dari bagian kiri dan kanan tempat istirahat tiap keluarga kecil
yang dibatasi oleh dinding yang disebut bilik. Bagian belakang merupakan
dapur bersama, bagian tengah untuk ruang keluarga, serta bagian depan
(biasa disebut panto atau palontar) yaitu bagian yang tidak memiliki
atap merupakan tempat santai pada sore hari serta pada siang hari
digunakan untuk tempat jemuran. Kegiatan untuk mewariskan tradisi lisan
kepada generasi penerusnya seperti membuat kerajinan tangan, peralatan
tradisional serta penuturan cerita (sanzangan dan gesah) dilakukan di
ruangan keluarga.
Namun
sekarang setelah pola permukiman berubah dari rumah bosar menjadi rumah
tunggal yang hanya menampung keluarga inti, maka proses kegiatan yang
berhubungan dengan tradisi lisan hampir tidak pernah dilakukan lagi.
Pada malam hari anggota keluarga lebih senang keluar rumah untuk nonton,
jalan-jalan serta berkunjung ke tempat keluarga yang lain dan pulang
sudah larut malam, sehingga jarang sekali terjadi interaksi dalam suatu
keluarga, apalagi untuk mewariskan tradisi lisan kepada generasi
penerusnya. Sehingga perubahan pola permukiman turut membantu musnahnya
tradisi lisan suku Dayak Krio.
C. Organisasi Sosial
Organisasi
sosial yang berlaku dalam masyarakat adat di tanah Krio hanya berlaku
untuk satu kampung, maksudnya antara kampung yang satu dengan kampung
yang lain tidak memiliki hubungan hirarkis. Adapun struktur dimaksud
sebagaimana yang ada sekarang adalah sebagai berikut:
Domong adat
⇓
Mantir-Mantir dan Tuha-Tuha
⇓
Masyarakat
Domong Adat berarti kepala adat. Sebagai seorang kepala wilayah masyarakat adat tugas dan wewenang:
1. Mengesahkan keputusan dalam upacara adat,
2. Memutuskan perkara atau perselisihan yang terjadi antar sesama warga masyarakat, dan
3. Membuat adat baru atau mengubah adat dengan persetujuan masyarakat ramai dengan ditandai penanaman mangkuk pasak paguh.
Mantir-Mantir dan Tuha-Tuha.
Yang
termasuk dalam kelompok ini adalah golongan tua yang sangat berpengaruh
dalam masyarakat, berpengaruh dalam hal ini karena memiliki pengetahuan
yang luas khususnya dalam adatistiadat. Golongan ini terdiri dari para
sesepuh masyarakat, mantan-mantan pejabat di kampung, orang-orang tua
yang sudah senior yang dianggap memiliki pengetahuan yang luas, para
guru, tokoh agama, serta perangkatperangkat kampung.
Hubungan
antara Domong Adat, Mantir-Mantir dan Tuha-Tuha dengan Masyarakat
bukanlah menunjukkan hubungan seperti atasan dengan bawahan akan tetapi
mereka menjalankan tugas sesuai dengan perannya masingmasing.
Organisasi
di atas berlaku bagi semua kampung Dayak yang ada di tanah Krio.
Walaupun sistem pemerintahan yang ada sekarang mempersatukan beberapa
dusun menjadi satu desa akan tetapi tidak mempengaruhi sistem yang
berlaku dalam masyarakat adat.
Selain
gelar di atas berlaku pula di tanah Krio pada jaman dahulu lain, yaitu
Samputut (kepala suku), Patih (kepala kampung atau mantirmantir), Yang
Kaya (kepala kampung atau mantir-mantir setingkat di bawah
patih),Tomongukng (kepala kampung atau mantir-mantir setingkat di bawah
Yang Kaya), dan Kanuruh (kepala kampung atau mantir-mantir setingkat di
bawah Tamongukng). Yang berhak memberikan nama-nama gelar tersebut
adalah Mantir Laman (Mantir-Mantir) berdasarkan masukan dan usulan dari
masyarakat ramai.
sebagai
berikut yaitu Ria (biasanya yang memperoleh gelar ini adalah mereka yang
paling senior), Kanuruh dan Kabihi. Selain tiga tingkatan yang ada,
adat-istiadat Krio memiliki pula seorang pembantu adat di setiap kampung
yang disebut Prabu. Selain pembantu adat terdapat pula pembantu kepala
kampung yang disebut Patingi, Mas Jayakng.
Sumber :
1. http://www.kebudayaan-dayak.org/index.php?title=Dayak_Krio
2.
Alloy, Sujarni, dkk.,MOZAIK DAYAK: Keberagaman Subsuku dan Bahasa Dayak
di Kalimantan Barat, Institut Dayakologi, Pontianak, 2008.
3.
Sayu, Silvia, dkk.2003"Tradisi Lisan Dayak Krio:Khazanah Yang Semakin
Terlupakan", dalam John (eds.), TRADISI LISAN DAYAK Yang Tergusur dan
Terlupakan, Institut Dayakologi, Pontianak, 2003.